![]() |
Source : NordioDesign |
Beberapa tahun ini, gaya hidup minimalis sedang gencar-gencarnya diikuti oleh para blogger dan influencer. Sebuah gaya hidup tentang bagaimana meminimalisir barang yang kalian punya dengan cara : cukup miliki sedikit barang dengan value yang besar.
Lebih
gampangnya, mending punya satu tapi
mahal dan nyaman, daripada punya banyak tapi biasa aja.
Ditambah dengan buku
Marie Kondo yang berjudul The Life Changing Magic of Tidying Up yang menjadi
sasaran empuk konten para YouTuber.
Buku
ini menjelaskan tentang seni beres-beres. Karena beresin rumah akan memiliki
dampak besar terhadap diri lo secara psikologis. Ibaratnya, beresin rumah itu sama kayak beresin hidup
lo. Kunci terbesarnya adalah decluttering atau membuang semua barang yang nggak spark joy buat lo.
Kalau
sebagian orang menginterpretasikan gaya hidup ini sebagai gaya hidup orang
kaya. Dimana dia udah eneg dengan
segala jenis barang-barang, harta, dan lainnya, sehingga mau menjadikannya
lebih sedikit namun berharga, gue sebaliknya.
Eh,
bukan bermaksud menentang pendapat itu sih. Tapi gue punya pendapat yang lebih
jauh.
Gue
merasa gaya hidup ini merupakan gaya hidup yang memicu terjadinya keseimbangan
sosial dan lingkungan.
Ohoy.
Jadi
di sini akan gue paparkan mengapa gue berpikir sampai ke situ, maksudnya,
ketika orang lain berpikir bahwa gaya hidup minimalis ini tujuannya untuk
membenahi hidup secara personal, gue punya pandangan yang lebih luas dari itu.
Apa? Ini :
1.
Meleburkan
Ketimpangan Sosial
Dulu,
setiap orang berbondong-bondong untuk memakai pakaian paling bagus, mewah. Em,
sekarang juga sih. Tapi dengan adanya gaya hidup minimalis ini, hal yang sama
semakin melebur.
Orang-orang
kaya mulai menyederhanakan gaya berpakaiannya (walau tetep bedah harga
pastinya). Namun kesederhanaan ini, membuat orang-orang missqueen atau menengah
ke bawah tidak terlalu merasakan adanya ketimpangan sosial.
Orang-orang
kaya berhenti berlebih-lebihan dan mulai menikmati hidup dengan barang
seadanya. Sama dengan orang kelas menengah ke bawah yang pada dasarnya juga
memiliki barang seadanya (faktor finansial).
Mulai
terjadi keseimbangan sosial di sini. And
I love it.
2.
Ramah
Lingkungan
Dengan
memanfaatkan barang yang ada, tidak membeli barang yang tidak diperlukan. dan menyumbangkan
barang yang sudah tidak dipakai, pada intinya mengurangi belanja dapat mengurangi sampah yang selama ini menjadi
masalah di seluruh dunia.
Masih
ingat gaya hidup zero waste life?
Yah, saya rasa gaya hidup minimalis sangat mendukung gaya hidup ini. Mengurangi
belanja dan barang sekali pakai untuk sustainability.
Being minimalist and environmentally
friendly is a good idea to support Sustainable Development Program.
3.
Baik
untuk Keuangan
Sebagai
seorang mahasiswa, menjalani gaya hidup minimalis adalah pilihan yang tepat dan
sangat suportif. Hm, lebih jelasnya, sebagai orang yang tidak memiliki banyak
penghasilan namun banyak pengeluaran, memegang gaya hidup ini mampu membuat gue
lebih neriman.
Kenapa?
Karena
keinginan gue untuk membeli buku, tas, sepatu, dan barang-barang yang pada
dasarnya hanyalah “keinginan” itu bisa ditekan dengan alasan lain (selain emang
nggak punya duit) yaitu gaya hidup.
“Gue nggak usah beli banyak sepatu deh, nanti malah menuhin kostan.”“Gue beli e-reader apa tablet ya? Em, kayaknya kalau masih betah di hp nggak usah beli dulu deh.”
*asli, ini karena emang belum ada duit :”
Nah,
jadi itu tiga hal positif yang gue maknai dengan hype-nya gaya hidup ini.
Kalau
menurut kalian sendiri, apa dampak positif yang belum gue sebutin?
Comments
Post a Comment